Saturday, February 23, 2013

Lucunya Hukum di Negeriku



Lucunya Hukum di Negeriku

Negara ini adalah negara hukum, tetapi sangat disayangkan masih banyak sekali ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita ini. Terlebih ketidakadilan itu dirasakan saudara-saudara kita yang hidupnya menengah ke bawah dan bahkan ada dari mereka yang hidup melarat. Sedangkan bagi mereka yang memiliki harta dan tahta , hukum terasa tidak bernilai. Hukum di Indonesia hanya berlaku bagi mereka mereka yang kuat dan mampu, tidak perlu merasakan lama-lama menderita dalam sel tahanan. Ada juga yang menjadi korban, tetapi justru mereka malah ditahan dan menjadi tersangka.
            Negara Indonesia sangat minim dengan keadilan, karena adanya mafia hukum. Mafia hukum yang dimaksud di sini adalah pada proses pembentukan undang-undang oleh pembuat undang-undang yang lebih tahu dengan nuansa polotis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu.  Sekalipun dalam politik hukum Indonesia nuansa politis dalam pembuatan undang-undang dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit, akan tetapi politik hukum yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.
Sedangkan mafia peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para penegak hukum, dimana hukum dan keadilan telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan, dan sederhana, sulit untuk ditemukan dalam praktik keadilan. Di negeri ini pelaksanaan hukum diibaratkan bagai menegakkan benang basah, maksudnya sulit dan susah untuk diterapkan.
Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya budaya korupsi dan penyuapan disemua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan slogan dan pidato-pidato kosong.
Bahkan secara factual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tampak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada ada pihak lain yang menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita bahwa hukum di negeri ini tidak akan pernah memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. Sekali lagi tidak akan pernah. Ada sebuah sindiran yang mengatakan, "berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik, dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada di negeri ini.
Tapi para penegak hukum, politisi, pejabat, dan tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan ekstensi pekerjaan dan tanggung jawab publiknya, jika sindiran itu hanya akan mengurangi rezekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia. Kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.
            Sehingga apa yang disebut sebagai mafia hukum dan mafia peradilan ekssistensinya cenderung  abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga apapun yang dibicarakan tentang pelaksanaan hukum di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para  hakim, jaksa, dan para polisi yang korupsi, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral kekuatan serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga adanya kemauan politis dari elit politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang peduli akan nasib bangsa ini, serta memberantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut kekuasaan.
Ketidakadilan hukum di Indonesia terlihat pada berbagai kasus dan kejadian hukum yang terjadi di negeri tercinta kita ini. Salah satu kasusnya saja tentang berita mengenai seorang nenek yang melakukan pencurian tiga buah kakao (biji coklat) dari perkebunan milik PT.RSA. Karena kepergok mencuri, nenek Minah segera dilaporkan ke pihak kepolisian oleh pihak PT.RSA. Kemudian, nenek Minah diadili di meja hijau untuk mendapatkan sanksi hukum. Hakim memutuskan nenek Minah dipenjara selama satu bulan lima belas hari dengan masa percobaan tiga bulan di luar tahanan.
Namun, keadaan tersebut berbanding terbalik dengan kasus mafia peradilan Artalyta Suryani. Terdakwa bisa membayar sejumlah uang ke oknum polisi atau kejaksaan untuk keringanan hukuman. Para jaksa hidup dengan mewah meski penghasilannya biasa-biasa saja. Pelataran parkir Mabes Polri juga dipenuhi mobil mewah. Ada juga pengakuan dari seorang pengacara sebagai berikut, "Nyanyian lain tentang kemaruknya jaksa datang dari seorang pengacara. Katanya, untuk bisa negosiasi dengan jaksa, paling tidak harus menyiapkan dana Rp. 500 juta. Pembagian uangnya pun bervariasi, misalnya mendapat Rp. 250 juta, pejabat setingkat asisten jaksa mendapat 125 juta, kemudian sisanya diberikan kepada jaksa kere yang mondar-mandir di pengadilan. Kami membayar setelah putusan diketuk dan biasanya di Hotel Sahid Kartika Chandra" tutur si pengacara.
Banyak aparat hukum yang dicopot dari jabatannya ketika melakukan pelanggaran hukum. Tetapi setahun dua tahun kemudian kembali menduduki jabatan lagi. Oleh karena itu, pencopotan jabatan bukanlah sesuatu hal yang harus ditakuti. Harusnya jika ada jaksa yang korupsi, bukan sekedar dicopot jabatannya, tetapi harta hasil korupsinya harus disita, dia harus dipecat dan diseret ke pengadilan untuk dihukum sebesar-besarnya, agar timbul efek jera.
Kembali ke kasus Artalyta Suryani, Karena keterlibatannya dalam kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI). Artalyta dinyatakan bersalah oleh pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi lima tahun penjara pada tanggal 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS. Kasus ini mendapat banyak perhatian karena melibatkan pejabat-pejabat dari kantor Kejaksaan Agung, dan menyebabkan mundur atau dipecatnya pejabat-pejabat negara. Kasus ini juga melibatkan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan hasil penyadapan tersebut diputar di stasiun-stasiun televisi nasional Indonesia.
Artalyta ditangkap oleh petugas KPk pada awal maret 2008. Rumah tahanan yang ditinggali Artalyta sungguh mencengangkan, karena tidak ubahnya sebuah hotel berbintang. Sel tahanan tempat Artalyta menetap  terdiri dari beberapa ruangan, diantaranya, ruang bimbingan kerja (bingker). Ruangan itu lapang dan berpendingin udara, terdapat sofa bed yang pada waktu itu Artalyta tengah menjalani perawatan kecantikan (beauty treatment) oleh dokter ahli kosmetik laser Hadi Sugiarto. Kalau sesuai aturan, seharusnya tidak boleh ada dokter lain yang boleh masuk  selain dokter penjara.
Ruangan tersebut seakan berubah menjadi milik pribadi Artalyta, ruang yang seharusnya diperuntukkan bagi seluruh napi itu dipenuhi foto-foto anak yang diakui Artalyta sebagai anak adopsinya. Di sebuah sudut , terdapat sebuah kolam bola berukuran besar, yang juga diakui Artalyta sebagai tempat bermain anaknya jika mengunjunginya. Tak ketinggalan juga sebuah pesawat televisi plasma, kulkas, kompor, dan sejumlah alat-alat rumah tangga lainnya berada di ruangan itu.
Berbagai penyimpangan di Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur ditemukan. Sejumlah napi memiliki ruangan khusus selain Artalyta Suryani, bahkan disertai fasilitas karoke.
Sebagai aparat hukum, para polisi, jaksa, dan hakim seolah-olah bukan sekedar penegak hukum, tapi memiliki hukum, sehingga timbul kasus jual beli-beli hukum.
Pemerintah telah membentuk Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan sebagainya namun gagal membersihkan lembaga tersebut. Namun yang terjadi di lapangan sungguh mecengangkan.
Dari dua kasus di atas dapatlah dilihat dan di pahami, kalau hukum di negeri tercinta kita ini, hukum itu sangat lucu, lucu sekali. Tidak ada keadilan tapi yang ada sebaliknya, bukannya menciptakan kesejahteraan tapi malah menciptakan kesengsaraan.
Mereka para koruptor yang telah merugikan negara dapat berlarian bebas tanpa hukuman yang pasti yang sesuai dengan perbuatan mereka. Tetapi, nenek Minah perbuatan sekecil itu langsung direspon oleh pihak penegak hukum.

Seharusnya koruptor - koruptor itu jika sudah ada bukti bila mereka bersalah sebaiknya harus langsung diseret dan diadili bukannya ditunda – tunda agar tercipta keadilan yang sebenarnya tanpa memihak siapapun dan memandang siapapun.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home